Jumat, 22 Oktober 2010

Perlukah UN dijadikan Standar Kelulusan Siswa saat ini?


MENINJAU ULANG KEMBALI PAYUNG HUKUM
PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL

1.     Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.

Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.

Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang, menurut pendapat saya, merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UN merupakan alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan? Makalah ini mencoba untuk mengupas apakah evaluasi dalam bentuk UN yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dapat menjawab pertanyaan tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan. Pembahasan dimulai dari tujuan pendidikan, evaluasi, dan diakhiri dengan rekomendasi tentang perlu dan tidaknya evaluasi yang bersifat nasional.

2.     Kurikulum dan Evaluasi.
Sebelum berbicara tentang evaluasi, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang kurikulum sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum mencakup fokus program, media instruksi, organisasi materi, strategi pembelajaran, manajemen kelas, dan peranan pengajar (Arieh Lewy, 1977:7-8). Di Indonesia sekarang sedang dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian  dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional.Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dari itu, penyusunan KTSP juga  mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005.

Evaluasi yang diterapkan seharusnya dapat menjawab pertanyaan tentang ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk mengingat kembali, tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan
"bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" (Pasal 3).

Dalam tujuan pendidikan di atas terdapat beberapa kata kunci antara lain iman dan takwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan demokratis. Konsekuensinya adalah evaluasi yang diterapkan harus mampu melihat sejauh mana ketercapaian setiap hal yang disebutkan dalam tujuan tersebut. Evaluasi harus mampu mengukur tingkat pencapaian setiap komponen yang tertuang dalam tujuan pendidikan. Pertanyaannya adalah bagaimana pelaksanaan evaluasi pendidikan di Indonesia? Apakah evaluasi yang dipakai dapat menjawab semua pertanyaan tentang tingkat pencapaian tujuan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional? Pada bagian berikut akan dibahas penerapan sistem evaluasi di Indonesia dalam bentuk UN yang dituangkan dalam sebuah produk hukum Peraturan Menteri.

3.     UN dan Permasalahannya.

Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu UN bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah.
UN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik, dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. UN merupakan salah satu bentuk evaluasi belajar pada akhir tahun pelajaran yang diterapkn pada beberapa mata pelajaran yang dianggap ¡§penting¡¨, walaupun masih ada perdebatan tentang mengapa mata pelajaran itu yang penting dan apakah itu berarti yang lain tidak penting. Benarkah bahwa Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris merupakan empat mata pelajaran yang paling penting di tingkat SMP?

Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem evaluasi dalam bentuk UN dapat menjawab semua informasi yang diperlukan dalam pencapaian tujuan? Apakah UN dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Apakah UN dapat menjawab tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik? Apakah UN dapat menjawab sikap demokratis anak? Dapatkah UN memberikan semua informasi tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut? Apakah sudah tepat saatnya Standar Kelulusan siswa ditentukan melalui UN yang sementara fasilitas sekolah belum merata?

Evaluasi seharusnya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu penempatan, mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang mana seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak frustasi? Mastery berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya? Diagnosis berkaitan dengan pada bagian mana yang dirasa sulit oleh anak? (McNeil, 1977:134-135). UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan.

Dalam Keputusan Mendiknas No. 75 tahun 2009 disebutkan bahwa
Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan
penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah. Dari tujuan tersebut ada beberapa ketidaksinambungan dan muncul beberapa pertanyaan.
Pertama, bahwa pelaksanaan Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.. Dari pernyataan tersebut muncul beberapa pertanyaan antara lain:
1)     Dapatkah tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik?
2)     Dapatkah tes tersebut memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian?
3)     Dapatkah tes tertulis melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak?
4)     Dapatkah tes di ujung tahun ajaran menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya?
5)     Bagaimana kalau terjadi anak sakit pada saat mengikuti tes?
6)     Apakah hasil tes dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran?
7)     Apakah gambaran pemerataan  fasilitas pendidikan setiap sekolah bisa disamakan secara nasional?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mudah untuk memperoleh jawabannya bila dengan hanya memberikan tes pada akhir tahun pelajaran. Hasil belajar bukan hanya berupa pengetahuan yang lebih banyak bersifat hafalan, tetapi juga berupa keterampilan, sikap, motivasi, dan perilaku yang tidak semuanya dapat diukur dengan menggunakan tes karena melibatkan proses belajar. Dengan kata lain terjadi pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun pelajaran saja.

Kedua, tujuan ujian sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Mendiknas di atas adalah untuk mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Lagi pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan-pertanyaan di atas muncul, seperti apakah mutu pendidikan dapat diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UN sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran ¡§penting¡¨ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan koqnitif saja. UN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UAN.

Ketiga, ujian bertujuan untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Adalah ironis kalau UN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UN. Dengan kata lain, UN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.

Jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UN juga tidak sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu ¡§diversifikasi kurikulum¡¨. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidak adilan karena ibarat mengetes atletik tingkat pelatnas yang setiap hari dilatih dengan segala sarana dan prasarana termasuk pelatih yang memadai dengan atletik kampung yang memiliki sarana seadanya. Tentu saja hasilnya jauh berbeda, tetapi kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.

Pelaksanaan UN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap ¡§penting¡¨ juga memiliki permasalahan tersendiri. Benarkah hanya matematika, bahasa Indonesia yang merupakan mata pelajaran penting? Bagaimana kalau ada anak yang memiliki bakat untuk melukis, apakah itu berarti bahwa pelajaran seni jelas merupakan pelajaran penting bagi dia? Bagaimana juga dengan anak yang bercita-cita menjadi olahragawan yang berarti bahwa pelajaran olah raga merupakan pelajaran yang penting bagi dia? Kalau begitu kata ¡§penting¡¨ di sini untuk siapa? Pelaksanaan UN pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.

Beberapa orang berpendapat bahwa UN bertentangan dengan kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UN yang diatur dari pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah. UN telah dijadikan alat untuk “menghakimi¨ siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena dengan memberikan batasan nilai minimal 5,50. Dengan menetapkan nilai serendah itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 5,50 pada suatu ujian. Nilai 5,50 dapat diartikan hanya 55% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara umum pada bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup atau baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UN selain menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat rendah telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.

4. Bagaimana Evaluasi Pendidikan Seharusnya Dilakukan

Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka (Soedijarto, 1993a:17). Untuk itu evaluasi harus mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan (Soedijarto, 1993b:27-29).

Bisakah UN dipertahankan? Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UN banyak bertentangan bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UN maka selama itu perdebatan dan ¡§ketidakadilan¡¨ akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Seorang anak yang berpotensi untuk menjadi seorang seniman tidak bisa dipaksakan untuk menguasai matematika kalau dia sendiri tidak menyukainya dan berpikir tidak relevan dengan seni yang digelutinya. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.

Bagaimana evaluasi pendidikan yang sebaiknya dilakukan? Menurut pendapat saya, evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus juga diterima di sekolah berikutnya.

Sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah bukan berarti tidak diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan guidance bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum. Jika UN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi. Sebagai contoh bahwa UN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai sebagai pengendalian mutu pendidikan. Artinya UN tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai UAN haruslah minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah.

Sistem pelaporan hasil belajar dalam bentuk raport perlu direformasi dengan bentuk lain yang lebih komperehensif. Sebagai contoh apa arti seorang anak memperoleh nilai 8 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di raportnya? Apakah itu berarti anak tersebut menguasai pidato dengan baik, dapat menulis puisi, dan mampu berdebat? Informasi nilai yang ada diraport tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sehingga nilai raport perlu dimodifikasi sehingga dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang kemampuan yang telah dimiliki anak. Sebagai contoh, bahwa untuk laporan hasil belajar bahasa Indonesia perlu mencakup kemampuan tentang membaca, berbicara, mengemukakan pendapat, kemampuan menulis, membuat karangan, berpidato, sikap menghargai orang lain, dan sebagainya. Hal yang sama dikembangkan untuk mata pelajaran yang lain. Model penilaian dengan menggunakan portfolio mungkin lebih baik daripada sistem raport yang digunakan saat ini.



Referensi:

Arieh Lewy (Editor). 1977. Handbook of Curriculum Evaluation. Paris: International Institute for Educational Planning.

McNeil, John D. 1977. Curriculum A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company

Pusat Pengembangan Kurikulum. 2003. Kurikulum 2004 Kerangka Dasar (draft). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Soedijarto, Prof., DR, MA. 1993a. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu.Jakarta: Balai Pustaka

Soedijarto, Prof., DR, MA. 1993b. Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Permendiknas No. 75 tahun 2009 tentang Ujian Nasional Tahun 2009



Jumat, 08 Oktober 2010

"Lesson Study"

Sejarah singkat tentang lesson study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepangnya disebut dengan istilah jugyokenkyu. Asal kata jugyo yang berarti lesson atau pembelajaran, kenkyu berarti study atau reseech berarti peneelitian sehingga lesson  study dapat diartikan kajian terhadap pembelajaran. Makoto Yoshida adalah seorang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan ajugyokenkyu di Jepang.
Konsep lesson study bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi sebagai model atau strategi pembinaan untuk meningkatkan profesionalisasi guru sekaligus proses hasil pembelajaran yang dilakukan oleh kelompok guru secara kolaboratif dan berkrsinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi, dan melaporkan haasail pembelajaran. Lesson Study merupakan kegiatan yang mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning community) yang secara konsisten dan sistematis melakukan perbaikan diri baik dalam tataran individual maupun manajerial.
Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan pada prinsip-prinsip dan kolegaliatas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. 

Kamis, 07 Oktober 2010

Penguasaan KTI melalui 5 Faktor

Menulis sebuah Karya Tulis Ilmiah itu sebenarnya tidaklah sulit, tentunya jika kita ada niat dan kemauan yang keras. Namun, terkadang kita sulit untuk mulai menuangkan buah pikir kita ke dalam sebuah tulisan,hal ini dirasakan oleh sebagian besar tenaga pendidik.
Secara umum Karya Tulis dapat dikelompokan menjadi 3 jenis, yaitu fiksi, non fiksi dan feature. Dari ketiga jenis tersebut memilkiki kriteria masing-masing dan cara penulisannya pun berbeda. Jika membuat tulisan fiksi dibutuhkan daya imajinasi yang kuat, maka berbeda dengan tulisan non fiksi yang mengutamakan data dan fakta yang tidak boleh dikarang, dan data serta informasi yang dipakai harus berdasarkan realitas yang ada. Sementara feature adalah karangan khas yang dibuat berdasarkan pengamatan melalui panca indra manusia. Jadi jelas bahwa Karya Tulis adalah termasuk ke dalam tulisan non fiksi .
Secara sederhana bisa dibedakan antara pengertian Karya Ilmiah dengan Karya Tulis Ilmiah, jika Karya Ilmiah adalah hasil pekerjaan yang dilakukan secara ilmiah, berdasakan kaidah-kaidah yang berlaku. sedangkan Karya Tulis Ilmiah adalah penuangan Karya Ilmiah dalam bentuk tulisan, dan cara penulisannya mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang berlaku sehingga layak dibaca dan dinilai.
Oleh karena itu untuk membuat Karya Tulis Ilmiah yang baik kita perlu menguasai 5 faktor :
  1. Pastikan topik sesuai dengan kompetensi, kebaharuan topik, dan judul mengait kepada topik
  2. Pastikan karya tulis Ilmiah yang kita buat apik
  3. Pastikan bentuk Karya Ilmiah yang akan kita buat
  4. Pilihlah jenis media untuk penyebaran KTI
  5. Pahami siapa pembaca utama KTI
Demikian semoga bermanfaat, terima kasih.

Rabu, 06 Oktober 2010

GURU PEJUANG PENEGAK KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN WNI

Upaya meningkatkan mutu guru dimulai dari adanya keinginan guru untuk merubah perilaku dan lingkungannya dimana mereka berada. Guru profesional merupakan guru mandiri guru yang memahami, menghayati dan mengamalkan segala bentuk hak dan kewajibannya sebagai seorang guru. Guru harus memiliki empat kompetensi dasar yang diperlukan yi: Kompetensi peadagogis, kompetensi profesional, komptensi kepribadian dan kompeatensi sosial. Keempat kompetensi dasar ini yang harus diperjuangkan dan diamalkan kapan dan dimanapun mereka berada. Sudah seyogyanya guru-guru massa kini menjadi pejuang untuk terciptanya  masyarakat yang adil dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 45. Disamping harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas guru Indonesia saat ini harus memiliki keberanian untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan  masyarakat. Kita bisa melihat fakta di lapangan banyak para pakar/ilmiawan tapi kurang begitu bermaslahat bagi masyarakat di lingkungannya, kebanyakan para pakar/ilmiawan ini hanya bisa berkomentar tentang teori-teori ilmu pengetahuan yang dimilikinya tanpa membumi membaktikan dirinya untuk kepentingan banyak orang atau menjadi insan "Rahmatan Lill a'lamin".  Hal ini sangat memprihatinkan kita, mengingat kita sebagai manusia terdidik harusnya memiliki kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang masih serba kekurangan dalam untuk bersama-sama merubah hidupnya melalui jalur pendidikan. Kalau bukan oleh guru? oleh siapa lagi pendidikan yang bertujuan mencetak  insan paripurna ini kita perjuangkan? Saat ini kita patut berbahagia dengan di syahkannya UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai bentuk penghargaan pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap profesi Guru. Dengan di undangkan UU Guru dan Dosen ini kita berharap para guru-guru di Indonesia bisa tampil lebih berani dan lebih elegan dalam memperjuangkan rasa keadilan masyarakat yang dapat meningkatkan taraf kesejehteraan Warga Negara Indonesia, sehingga kelak semua WNI menjadi manusia yang memiliki harkat dan martabat tinggi di hadapan warga negara bangsa lain, dan kita tidak  lagi mendengar ada para TKI yang pulang dengan cacat fisik bahkan sampai pulang tinggal nama akibat penyiksaan majikannya karena ketidakmampuan baik dalam berbahasa asing misalnya ataupun kurangnya penguasaan kemampuan sebagai tenaga kerja terdidik dan terlatih ataupun juga ketidaktahuan ("kebodohan") akan hak dan kedudukannya sebagai Tenaga kerja,  Akibat pola pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah tidak menyentuh pada keterampilan praktis di lapangan. Ini semua merupakan tanggung Jawab kita para Guru Indonesia untuk mengingatkan dan memberikan pencerahan kepada para peserta didik kita.  Akhir kata saya mengucapkan Selamat berjuang Guru-guru Indonesia manfaatkan UU Guru dan Dosen untuk bekerja lebih profesional, Jadilah Guru Profesional yang mampu menjawab semua tantangan Jaman dan dapat meningkatkan martabat Bangsa"  Semoga amal baktimu mendapat Ridho Allah SWT. Ami....in.

Ciri-ciri PTK



1.      Pengkajian masalah situasional dan kontektual pada perilaku seseorang atau kelompok orang. Artinya, solusi terhadap masalah-masalah yang digarap di dalam suatu kegiatan PTK tidak untuk digeneralisasi secara langsung. Jadi, setiap masalah yang muncul harus segera dicarikan solusinya untuk saat itu dan untuk kondisi dan konteks saat itu pula. Tidak harus menunggu suatu cara penyelesaian yang dapat berlaku umum di setiap situasi, kondisi, dan konteks. Namun demikian, tidak berarti bahwa PTK tidak dapat menemukan solusi yang bersifat general. Dari kegiatan PTK yang berkesinambungan dan terorganisasi dengan baik, maka pola solusi umum untuk beberapa masalah akan muncul atau nampak. Sehingga, generalisasi hasil suatu kegiatan PTK mungkin juga dicapai tetapi setelah melalui beberapa kegiatan PTK.

2.      Ada tindakan. Perbedaan yang mencolok antara PTK dengan penelitian-penelitian lainya adalah harus ada tindakan perbaikan yang dirancang untuk mengatasi masalah yang dihadapi saat itu dalam konteks dan situasi saat itu pula. Tindakan (action) ini benar-benar dimaksudkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi, bukan untuk mengembangkan atau menguji sebuah teori, dan juga tidak dimaksudkan untuk mencari solusi yang berlaku umum disetiap situasi dan kondisi. Jadi tidak perlu ada generalisasi hasil PTK.

3.      Penelaahan terhadap tindakan. Di samping adanya tindakan, dalam PTK tindakan yang dilakukan tadi harus ditelaah: kelebihan dan kekurangannya, pelaksanaannya, kesesuaiannya dengan tujuan semula, penyimpangan yang terjadi selama pelaksanaan, dan argumen-argumen yang muncul selama pelaksaan. Telaahan terhadap tindakan ini dilakukan pada saat observasi.

4.      Pengkajian dampak tindakan.  Dampak dari tindakan yang dilakukan harus di kaji apakah sesuai dengan tujuan, apakah memberi dampak positif lain yang tidak diduga sebelumnya, atau bahkan menimbulkan dampak negatif yang merugikan peserta didik.

5.      Dilakukan secara kolaboratif. Mengingat kompleksitas pelaksanaan suatu PTK, maka ada baiknya jika PTK ini dilaksanakan secara kolaborasi. Kolaborasi dapat dilaksanakan antara guru dengan dosen LPTK, antara guru dengan guru lain yang bidang studinya baik sama ataupun tidak sama, atau bahkan antara guru dengan siswa.


Perbedaan antara PTK dan non PTK:

PENELITIAN NON-PTK

PTK

Dilakukan oleh orang dari luar.

Dilakukan oleh guru.

Selalu memperhatikan populasi dan sampel.

§  Tak dikenal istilah populasi dan sampel.

§  Kurang memperhatikan ukuran/kerepresentatifan sampel.

validitas & reliabilitas Instrumen harus dikembangkan dan diuji.

Instrumen cukup memiliki validitas isi.

Menuntut penggunaan analisis statistik yang kompleks

Tak digunakan analisis statistik yang rumit.

Sering memerlukan pembanding atau kelas kontrol

Tidak memerlukan kelas kontrol sebagai pembanding keberhasilan.

Mempersyaratkan hipotesis penelitian.

Tidak selalu menggunakan hipotesis penelitian (kecuali yang berkaitan dengan uji teori)

Tujuannya untuk:

§  Mengembangkan pengetahuan umum (teori)

§  Tidak langsung memperbaiki praktik pembelajaran

Tujuannya untuk:

§  Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung.
§  Memperbaiki mutu proses pembelajaran.

Format Proposal PTK :
1.   Judul
2. Masalah dan Latar Belakang Masalah
3. Cara Pemecahan Masalah
4. Tujuan Penelitian dan Manfaat
5. Kerangka Teoritis & Hipotesa Tindakan
6. Rencana Penelitian
a. Setting & Karakteristik Subyek Penelitian
b. Faktor-faktor yang diselidiki
c. Rencana Tindakan
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan Tindakan
3. Observasi dan Evaluasi
4. Analisis dan Refleksi
d. Data dan Cara Pengambilannya
e. Indikator Kinerja
f. Tim Peneliti dan Tugasnya
7. Jadwal Penelitian
8. Rencana Anggaran
9. Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran

a.    Judul.
Sebaiknya judul untuk proposal PTK mengandung tiga hal, yaitu:
·           Mengandung masalah yang akan diteliti/diatasi.
·           Tindakan yang akan digunakan untuk mengatasi masalah.
·           Seting PTK. Di kelas berapa PTK akan dilakukan, semester kapan, sekolah mana, tahun ajaran kapan.
b.   Masalah dan Latar Belakang Masalah.
·           Masalah PTK
Masalah yang akan diteliti/diselesaikan harus merupakan masalah guru sehari-hari yang muncul di dalam satu kelas tertentu. Jadi bukan masalah yang dirancang untuk uji-coba atau pemodelan. Tetapi harus merupakan masalah pembelajaran langsung dari kelas itu.
·           Latar Belakang Masalah.
·           Harus menjelaskan mengapa kira-kira masalah itu muncul di kelas itu. Ceritakan keadaan kelas itu, seperti jumlah siswa total, jumlah siswa laki-laki dan perempuan, tingkat kecerdasan siswa, prestasi sehari-hari siswa, lingkungan sekolah, dan sebagainya yang sangat terkait langsung dengan masalah yang akan diselesaikan.
c.    Cara Pemecahan Masalah.
Jelaskan bagaimana masalah pembelajaran itu akan diselesaikan, berapa siklus PTK akan dilaksanakan. Tindakan apa yang akan digunakan dalam menyelesaikan masalah. Jelaskan bagaimana cara pelaksanaan tindakan.
d.   Tujuan PTK dan Manfaat PTK.
·           Tujuan.
Jelaskan tujuan pelaksanaan PTK. Tentu tujuan PTK ini adalah untuk menyelesaikan atau mengatasi masalah pembelajaran di kelas. Jelaskan masalah apa yang akan diselesaikan dan seberapa jauh masalah itu akan dituntaskan.
·           Manfaat PTK.
Jelaskan manfaat PTK untuk siswa, untuk guru, dan untuk sekolah.
e.    Kerangka Teori dan Hipotesa Tindakan (bukan Hipotesa Penelitian).
Apa yang harus dijelaskan dalam kerangka teori adalah tentang apa tindakan yang digunakan untuk mengatasi masalah, bagaimana tindakan itu harus dilaksanakan, apa kelebihan atau kekuatan tindakan yang dipilih, apa pula kelemahannya, terakhir tentutakan mana yang lebih banyak apakah kelebihannya atau kekurangannya, dan apakah kelebihan itu sesuai dengan masalah yang akan diatasi.
b.   Rencana Penelitian.
a.         Seting dan karakteristik sujek PTK.
Jelaskan seting PTK seperti yang tertuang dalam judul PTK dan jelaskan pula karakteristik subjek penelitian, seperti karakteristik siswa, kelas, lingkungan kelas/sekolah, dan sebagainya.
b.        Faktor-faktor yang diteliti.
Jelaskan faktor apa saja yang akan diteliti. Pihak guru, faktor apa saja yang akan dilihat/diteliti. Pihak siswa, faktor apa saja yang akan dilihat dan diteliti, dan tentang interaksi siswa-siswa, serta interaksi siswa-guru faktor apa saja yang akan diteliti.
c.         Rencana Tindakan.
Jelaskan jenis tindakan yang akan digunakan dan untuk berapa siklus. Sebutkan rencana tindakan untuk setiap siklus. Upayakan jenis tindakan di tiap siklus tidak sama.
d.        Jenis Data dan Cara Pengumpulan data.
Jelaskan jenis data yang akan dikumpulkan sebagai bahan refleksi dan analisa data. Apa saja data kualitatif dan apa pula data kuantitatif yang akan dikumpulkan. Lalu jelaskan pula bagaimana data itu akan dikumpulkan selama kegiatan PTK dan dengan menggunakan instrumen apa.
e.         Indikator Kinerja PTK.
Indikator kinerja PTK adalah ukuran ketuntasan kegiatan PTK. Jika dalam suatu siklus indikator kinerja sudah dicapai, maka kegiatan PTK dapat berakhir setelah refleksi pada siklus tersebut. Penentuan indikator kinerja PTK sangat bergantung pada kualitas dan karakteristik subjek penelitian, serta sangat bergantung pada besar- kecilnya masalah PTK. Tentukanlah indikator kinerja secara proporsional dan profesional.
f.         Tim Peneliti dan Tugasnya
Jelaskan siapa ketua peneliti dan apa tugasnya, serta siapa saja yang menjadi anggota dan apa pula tugas masing-masing anggota.
c.       Jadwal PTK
Buat jadwal kegiatan PTK yang rasional. Tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat. Sesuaikan dengan besar-kecilnya masalah PTK.
d.      Rencana Anggaran.
Tuangkan dalam bentuk matrik anggaran sesuai dengan pedoman yang diminta.
e.       Daftar Pustaka.
Tuliskan semua buku sumber terutama yang dijadikan bahan untuk kajian teori.
f.       Lampiran-lampiran.
Lapirkan biodata Ketua Peneliti dan Anggota Peneliti.

Jenis-jenis tindakan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah pembelajaran di antaranya adalah:
1.   Macam-macam metode pembelajaran, seperti: metode ceramah, metode tanya-jawab, metode diskusi, metode demosntrasi, metode eksperimen, metode permainan, cara belajar siswa aktif (CBSA) atau active learning, PAKEM (Pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan), metode problem solving, dan lain-lain.
2.   Macam-macam pendekatan, seperti: pendekatan konsep, pendekatan proses, pendekatan inkuiri, pendekatan konstruktivis, pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning), Pendekatan keterampilan proses, pendekatan STM (Sains, teknologi dan masyarakat), dan pendekatan lainnya.
3.   Macam-macam media, seperti: charta, bagan, model tubuh manusia, model organ manusia, peta, Tape Player, transparan/OHP (Over Head Projector), Film Strip, Film pembelajaran/pendidikan, slide proyektor, audi-video, TV Pendidikan, Laboratorium bahasa, laboratorium IPA, Laboratorium Matematika, Laboratorium IPS, Multimedia berbasis komputer, Internet, alat olah raga, sarana dan prasarana olah raga, laboratorium tataboga, laboratorium tatabusana, dan lain-lain.
4.   Macam-macam alat peraga: seperti alat peraga untuk demonstrasi, alat  peraga untuk eksperimen/percobaan, globe, peta bintang, peta langit, model tatasurya, teropong bintang, dan lain sebagainya.
5.   Model-model pembelajaran, seperti model PAKEM, Model Discovery learning, Model Cooperative Learning, Model CBSA, Model Lesson Study, model Problem solving, model Inkuiri, dan sebagainya.


Perencanaan pembelajaran dalam PTK terdiri atas:
a.    menyiapan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
b.   merencanakan skenario pembelajaran (langkah-langkah pembelajaran) sesuai dengan tindakan yang telah dipilih,
c.    menyusun instrumen evaluasi pembelajaran (Soal latihan, soal pre-post test, tugas, pekerjaan rumah, dan sebagainya.
d.   Menyiapkan alat dan bahan pembelajaran yang sesuai dengan jenis tindakan yang dipilih.
e.    Menyiapkan instrumen observasi, seperti catatan lapang (field note), dan/atau format observasi.
f.    Meyiapkan alat bantu observasi, seperti tape recorder, camera foto, kamera video, dan sebagainya.
g.   Menetapkan faktor-faktor yang akan diobsevasi/diteliti. Contoh:
§  Faktor guru:
Ø  apakah pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan skenario yang disepakati di awal?
Ø  Apakah pelaksanaan tindakan sesuai dengan aturan main dari tindakan itu.
Ø  Apakah guru melaksanakan proses pembelejaran sesuai dengan teori pemebelajaran yang dipilih.
§  Faktor siswa:
Ø  Respon siswa terhadap materi pelajaran.
Ø  Respon siswa terhadap pertanyaan guru.
Ø  Antusiasme siswa dalam mengerjakan latihan dan tugas.
Ø  Kegiatan tanya jawab antara guru dan siswa.
Ø  Jumlah siswa yang aktif bertanya.
Ø  Jumlah siswa yang aktif menjawab pertanyaan guru.
Ø  Jumlah siswa yang kurang/tidak memperhatikan guru.
Ø  Kondisi pembelajaran, apakah menyenangkan, menegangkan, membuat ngantuk, monoton.
§  Faktor interaksi:
Ø  Interaksi antar siswa
Ø  Interaksi atara siswa dengan guru
Ø  Aktivitas siswa selama proses pembelajaran.
Ø  Sosiogram (peta interaksi antar siswa dan antara siswa dengan guru selama proses pembelajaran berlangsung).
Ø  Dan sebagainya